Aku mengenal Evi ketika sama-sama menunggu giliran bicara di sebuah
Wartel yang pada malam itu cukup penuh. Dari awal kuperhatikan cewek itu
sangat menarik perhatianku. Penampilannya asyik! Kulitnya yang putih
dan bodinya yang bahenol membuatku berkali-kali mencoba mencuri pandang
ke arahnya. Dandanannya juga oke. Dengan t-shirt ketat warna merah
mencolok dipadu dengan celana jeans-nya yang juga ketat, membuat
pinggulnya yang cukup besar terlihat padat berisi. Wah? boleh juga nih
cewek, pikirku.
Sambil tetap menunggu giliran, berkali-kali kulayangkan pandanganku ke
arahnya, dan berkali-kali pula kukagumi kepadatan tubuhnya. Merasa
diperhatikan, cewek itu mulai berani membalas tatapanku. Ah ternyata
manis juga! Dan ketika cewek itu menyunggingkan senyum manis di
bibirnya, naluri kelaki-lakianku langsung bergolak. Kuhampiri dia sambil
membalas senyumannya."Sendiri?" sapaku sok akrab sambil menempatkan
diri di kursi tepat di sebelahnya. Dia mengangguk. Senyumnya terlihat
malu-malu.
"Mau nelpon kemana?" serangku selanjutnya.
Ah, yang malu-malu seperti ini yang bikin gemes.
"Ke Cirebon," jawabnya singkatnya. Tapi kemudian dia mulai berani bertanya.
"Eh iya, kode telepon Cirebon berapa ya?"
Kusebutkan kode area kota udang itu sambil mengernyitkan dahi,
"Kok mau nelepon ke Cirebon nggak tahu kodenya sih?"
Dia tertawa kecil.
"Saya perlu nelpon temen saya di sana, tapi yang ada cuma nomor telpon saja tanpa dikasih kode areanya."
"Ooo.." anggukku sambil berpikir bingung.
Tanya apalagi ya? He..he.. kadang aku sering bingung, kesempatan bagus
seperti itu terganggu oleh hilangnya konsentrasi pembicaraan. Mungkin
karena aku terlalu terfokus pada barang bagus yang menonjol di dadanya
ya? Terus terang saja, dengan t-shirt ketat yang dipakainya, payudaranya
terlalu indah untuk dibiarkan sebagai pajangan. Aku menelan ludah,
sementara tanganku sudah tidak tahan untuk mengelusnya, dan pikiranku
mulai membayangkan bagaimana indahnya kalau t-shirt merah itu tidak
menutupinya. Pikiranku mulai mengembara kemana-mana.
"Mas, gilirannya tuh!" colekan halus di lenganku membuyarkan lamunanku.
"Eh, kenapa?" kataku gelagapan.
"Kok malah ngelamun sih? Udah gilirannya tuh. Jadi nelpon nggak?" cewek itu tertawa melihatku kebingungan sendiri.
"Kamu duluan deh," tawarku sok baik, padahal sesungguhnya aku jadi lupa mau menelepon siapa. Aku tertawa dalam hati.
Selesai bicara dan membayar, kutemukan cewek itu sedang berdiri di luar
Wartel. Aha, aku kegirangan. Berdebar-debar kuhampiri dia.
"Kok belum pulang, lagi nungguin saya ya?" godaku.
Cewek itu melirik menggoda,
"Emang nggak boleh?"Kalau tidak banyak orang di Wartel itu ingin aku
berteriak girang. Hanya saja aku masih punya rasa malu, apalagi dari
tadi tidak sedikit orang yang memperhatikan aku berdua (sebenarnya
mungkin memperhatikan cewek itu).
"Ayo deh aku anterin. Pulangnya emang kemana?" pertanyaan yang tepat
menurutku dan ajakan yang biasanya paling umum di kalangan laki-laki
(iseng). Bercanda.
"Aku lagi nungguin becak, soalnya rumahku jauh," tolaknya.
Aku tahu dia pura-pura, karena itu kupegang saja tangannya dan kubimbing
dia ke dalam mobil."Ayolah, mumpung aku lagi baik nih. Kebetulan aku
bawa pulang kendaraan kantor!" kataku jujur. Aku tidak mau sok
ngaku-ngaku kalau aku cukup mampu untuk punya mobil sendiri. Cewek itu
manut saja ketika kubukakan pintu depan dan langsung duduk dengan manis.
Aku tersenyum dalam hati, sukses nih!
Namanya Evi. Umurnya 26 tahun. Janda muda dengan satu orang anak umur
setahun. Semula aku kaget ketika dia mengatakan status jandanya. Ah,
protesku tak percaya waktu itu. Dengan penampilannya yang seperti itu
tak ada yang akan menyangka kalau dia seorang janda. Bagaimana mungkin
tubuh yang sintal dan menggoda seperti itu telah menghasilkan seorang
anak?
Sore itu Evi meneleponku ke kantor. Dari nadanya kutahu ia habis
menangis, atau malah mungkin sedang menangis. Dia memintaku datang ke
rumahnya nanti malam. Antara percaya dan tidak, kuakui bahwa undangan
ini cukup membuatku bersemangat. Tak ada salahnya menjadi teman bicara
seseorang yang sedang mempunyai masalah, pikirku. Jam delapan malam aku
datangi rumahnya. Begitu mendengar suara mobilku, Evi langsung keluar
rumah tanpa sempat aku turun terlebih dahulu. Dengan mata yang terlihat
bengkak karena habis menangis dia langsung naik dan duduk di depan di
sebelahku. Dadaku langsung berdesir melihat Evi hanya mengenakan baju
tidur pendek dengan tali kecil yang menggantung di pundaknya. Belahan
atas dasternya yang cukup rendah menyebabkan sepasang payudaranya yang
putih dan indah mencuat setengahnya. Putingnya tampak menonjol di balik
dasternya yang berwarna biru pucat. Kurasakan ada yang mulai bergerak di
balik celana dalamku. Ah, aku menelan ludah, payudara itu benar-benar
indah! Evi mengangkat kaki kanannya dan menumpangkannya di atas paha
kirinya sehingga mengakibatkan dasternya merosot sampai ke pangkal paha
yang mengakibatkan pahanya yang putih dan mulus terlihat jelas. Sekilas
celana dalamnya yang berwarna krem mengintip dari balik dasternya yang
tersingkap.
"Kita ngobrol sambil jalan aja Gi, boleh kan?" katanya sambil menoleh ke
arahku. Aku tidak tahu apakah dia sadar dasternya tersingkap atau
tidak, dan aku tak peduli. Aku mengangguk sambil mulai menjalankan
mobilku. Aku tidak berani bertanya tentang masalahnya karena terus
terang saja aku mulai tidak bisa berpikir jernih. "Terima kasih kamu mau
datang Gi. Kamu baik sekali! Padahal kamu baru mengenalku dua hari
saja." Evi menyentuh tangan kiriku dan menggenggamnya erat. Mobil
kujalankan pelan-pelan karena aku tidak mau kehilangan moment ini
cepat-cepat."Nggak apa-apa, aku senang bisa menemanimu," jawabku sambil
menoleh ke arahnya. Mataku kemudian menangkap pemandangan indah lagi di
balik dasternya. Payudara yang tanpa dihalangi bra itu menantangku untuk
terus memelototinya. Evi menggeser duduknya merapat ke arahku. Kaki
kanannya diangkat melewati tongkat perseneling sehingga aku dapat
merasakan kakinya mulai merapat ke kakiku. Penisku mulai menegang dan
mulai terasa tidak nyaman di dalam celana dalamku. Sementara itu Evi
semakin menggenggam erat tanganku. Lambat laun dia mulai membawa
tanganku ke arah pahanya dan menggesek-gesekkan telapak tanganku di
atasnya. Ah, aku merasakan permukaan kulit yang lembut dengan bulu-bulu
halus yang dapat kurasakan.
Kulirik Evi memejamkan matanya seakan sedang menikmati sentuhanku.
Tangannya tetap membimbingku menjelajahi permukaan pahanya yang halus
lembut. Akhirnya Evi melepaskan tangannya dan membiarkan tanganku
bergerak sendiri. Kujelajahi paha Evi dari atas lututnya ke atas
perlahan-lahan sampai aku mulai mulai menyusupkan tanganku ke
selangkangannya yang lembab. Jalanan cukup sepi, dan memang kuarahkan
jalanku ke jalan-jalan sepi sehingga tidak akan merepotkan
konsentrasiku. "Ah.." Evi mengerang ketika kusentuh vaginanya yang masih
terbungkus celana dalam tipisnya. Kedua tangannya menyusup ke dalam
dasternya untuk menjangkau payudaranya yang mulai terasa sensitif. Dia
mulai menggeliat-geliat seirama dengan sentuhan tanganku di vaginanya.
"Oh terus Gi, terus.. Ah!"
Aku mulai menekankan jari tengahku ke belahan vagina Evi yang semakin
lembab dan basah. Seiring dengan desahan Evi yang semakin cepat, aku
merasakan darahku bergolak dan nafsuku memuncak. Kuparkirkan mobilku di
pinggir jalan yang cukup gelap karena terlindung pepohonan rindang di
atasnya. Kulepas setir di peganganku, kupeluk Evi dan kucari bibirnya
dengan semangat yang membara. Kucium bibirnya yang lembut dengan penuh
nafsu sementara tangan kananku mulai menjelajah ke dalam dasternya.
Kuremas payudaranya yang telah dilepaskan oleh tangan Evi dengan keras.
Kuremas dan kuremas lagi bergantian kiri dan kanan. Sementara jari
tangan kiriku mulai menyelinap di balik celana dalamnya yang terpaksa
kusingkap oleh jari-jariku. "Ah.." Evi mengerang nikmat. Ciumannya
menjadi semakin bernafsu. Kulumat bibirnya dengan nikmat dan kumainkan
kedua tanganku di posisi masing-masing. Aku yakin organ tubuhku mengerti
akan tugasnya masing-masing.
Nafsuku terus naik, hal ini membuat penisku menegang kuat dan
menggeliat-geliat di dalam celana dalamku tanpa sempat dapat
kukeluarkan. Evi mencoba menyusupkan tangannya ke dalam celanaku, hanya
saja sabuk yang mengikat erat celana jeansku dan posisi duduk kami yang
tidak menentu mengakibatkan dia kesulitan, sehingga dia beralih dengan
meremas-remas dadaku. Nafasku berhembus sama kuat dengan nafas Evi yang
semakin cepat. "Lugi.. Ah.. terus.. oh!" Evi mendesis tak jelas karena
bibirnya masih belum bisa lepas dari bibirku. Keringat mulai mengalir
dari tubuhku dan Evi yang mulai kepanasan terkurung di dalam mobil yang
tak ber-AC dengan jendela tertutup.
Tiba-tiba Evi mendorongku dan mencoba melepaskan bibirku dari bibirnya.
Aku kaget. Sebelum sempat menyadari apa yang terjadi Evi sudah melompat
ke kursi belakang dan menarik tanganku. Dengan tergesa dia mencoba
melepaskan bajuku dan aku pun berusaha memerosotkan dasternya. Dalam
kegelapan malam dan ruang dalam mobil yang tertutup aku masih bisa
melihat bodinya begitu montok begitu dasternya terlepas. Celana jeans-ku
mulai terasa longgar begitu sabuknya berhasil dibuka oleh Evi. Kubuka
kancing celanaku dan kupelorotkan sekalian dengan celana dalamku.
Penisku berdiri tegak seakan berhasil terlepas dari belenggu. Tanpa
sempat bernafas dulu Evi sudah menarikku dan merebahkanku di jok mobil.
"Oh, besar sekali kepunyaanmu Gi," Evi mulai menggenggam penisku dan
mempermainkannya. Giliran aku yang mengerang sekarang. "Ah.. Nikmatnya."
Aku hanya bisa memejamkan mata sambil menikmati sentuhan kenikmatan itu
ketika kemudian kurasakan sentuhan dingin dan basah di seluruh batang
penisku. Ternyata Evi sudah mempermainkannya dengan mulutnya. "Ohh
aahh," aku mengejang. Antara rasa geli dan nikmat menyatu begitu Evi
mengulum penisku dan memainkan lidah di kepala penisku. Dia begitu
bernafsu seperti singa lapar yang mendapatkan santapan. Kalaupun ada
orang atau mobil yang lewat, rasanya aku sudah tidak mempedulikannya.
Aku dan Evi begitu terbuai dalam permainan yang memabukkan. Kurasakan
Evi begitu lihainya memanjakan penisku dengan mulut dan lidahnya. Dan
Aku merasakan penisku itu bagaikan sebuah es krim bagi Evi yang dengan
rakusnya menjilati di seluruh bagian. Sesekali dia menjilat dan meremas
buah zakarku yang membuatku menjerit tertahan.
Batang kemaluanku semakin tegang ketika Evi mulai merangkak naik ke
atasku yang masih duduk bersandar ke belakang jok mobil. Dia menciumku
dengan beringas sambil menyesuaikan duduknya di atas pahaku. Payudaranya
yang kencang menyentuh dadaku dengan lembut dan putingnya yang keras
menusuk-nusuk lembut dan bergeser-geser di dadaku. Kutuntun batang
penisku untuk menemukan lubang vaginanya yang ditumbuhi bulu-bulu lebat
di sekitarnya. Evi menjerit dan mengigit lembut bibirku ketika kutemukan
lubang vaginanya dan kulesakkan penisku ke dalamnya. "Aahh sshh,"
desahnya berulang-ulang ketika pantatnya mulai dinaikkan dan diturunkan.
Aku pun mencoba menekan dan menaik-turunkan pantatku ke atas ke bawah
mengiringi irama yang dimainkan Evi. Kubiarkan Evi mengendalikan
permainan karena toh aku juga sangat menikmatinya.
Kulepaskan ciumanku dan kuarahkan bibirku ke arah payudaranya yang
bergayut di depan wajahku. Kuciumi payudara dengan putingnya yang indah
yang sudah kukagumi sejak aku bertemu pertama kalinya itu masih dengan
nafsu yang menggebu-gebu. Kurasakan vagina Evi semakin basah dan desakan
di dalam penisku semakin menguat. Perlahan kupercepat kocokan penisku
ke dalam vagina Evi, dan kurasa Evi pun mengerti sehingga dia pun
mempercepat gerakan pinggulnya. "Terus Vi.. Ahh terus.. Semakin cepat!"
aku mengerang hebat. Desakan itu semakin kuat dan sangat nikmat.
Keringatku dan Evi semakin mengalir deras dimana-mana seperti pelari
marathon yang berusaha mempercepat larinya untuk mencapai garis finish.
"Sekarang!" aku mengerang lagi ketika desakan kuat di dalam penisku
hampir tak dapat kutahan lagi. Evi meloncat turun dan berjongkok di
depan penisku. Tangan kirinya mengocok cepat batang penisku yang sudah
sangat licin dengan cairan dari vagina Evi.
"Srroott.. srroott," akhirnya pertahananku bobol dengan memuntahkan air
mani yang cukup banyak ke arah wajah Evi dan rambutnya. Aku bersandar
kelelahan dan membiarkan Evi menjilati sisa air mani yang berleleran
dengan rakus. Rasa ngilu dan geli terasa bercampur dengan sisa
kenikmatan yang sudah kurasakan. Kubuka sedikit kaca jendela dan
kubiarkan angin malam menghembuskan dinginnya ke arah kami berdua.
Terasa segar menerpa keringat yang masih mengalir. Evi beranjak dari
jongkoknya dan merebahkan badannya di dadaku. Kupeluk dia dengan erat
dan kukecup dahinya dengan lembut. Berdua kami berpelukan dalam keadaan
telanjang bulat, melepaskan rasa letih dan lelah yang tiba-tiba
menyerang kami.
"Terima kasih Gi," desah Evi perlahan.
"Aku yang terima kasih Vi," jawabku perlahan juga.
Kuantarkan Evi pulang sebelum jam berdentang dua belas kali. Evi menahanku ketika aku bermaksud turun dari mobil.
"Nggak usah Gi, cukup sampai di sini saja."
"Vi, harusnya aku membantumu menyelesaikan masalah yang sedang kamu hadapi, bukannya.."
Aku tak bisa menyelesaikan kalimatku karena Evi memotongnya.
"Nggak papa Gi, kamu tidak perlu tahu dan aku pun tidak ingin membahasnya denganmu."
Evi melenggang turun dan masuk ke rumah. Dan tahu tidak netter, sampai
pertemuan-pertemuan selanjutnya pun Evi tidak pernah mau menceritakan
masalahnya pada waktu dia menangis dulu. Kurasa aku pun tidak perlu lagi
memaksanya untuk memberitahu kan? Mungkin itu malah lebih baik!